
Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sejumlah mantan komisioner KPU mengkritik sikap KPU RI mengenai Peraturan KPU yang mengatur keterwakilan perempuan minimal 30% di tiap dapil.
Ketua KPU periode 2004-2007, Ramlan Surbakti, menyoal cara KPU yang membuat aturan pembulatan matematika dalam hal keterwakilan perempuan sebagaimana dalam pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023.
Menurut Ramlan, pada Pemilu 2019, bila hitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka dibulatkan ke atas. Tapi KPU saat ini tiba-tiba mengatur pembulatan ke bawah yang bisa membuat keterwakilan di bawah 30%.
“Soal keterwakilan perempuan ini kan pesan politik dari pembuat UU,” kata Ramlan dalam diskusi dengan tajuk ‘PKPU Pencalonan Bermasalah’ secara virtual pada Minggu (21/5).
Ramlan menduga sikap KPU yang tidak jadi merevisi aturan tersebut setelah rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR adalah karena pesanan.
"Atas dasar apa diubah? Apa atas pesanan? Ini harus dijawab oleh KPU sebenarnya,"- Ramlan

Sementara itu, Komisioner KPU periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengkritik KPU yang mudah diintervensi DPR dalam membuat kebijakan. Padahal, rapat konsultasi KPU ke DPR tidak mengikat.
“Lembaga penyelenggara Pemilu kita nyatanya tidak mandiri, kalau Pak Ramlan tadi menduga ada pesanan, kalau saya yakin (ada pesanan),” ujar Hadar.
Hadar menyebut PKPU 10/2023 soal keterwakilan perempuan ini tidak sesuai dengan UU Pemilu. Ia juga menyayangkan sikap penyelenggara Pemilu lainnya yang berubah setelah RDP sehingga tidak jadi merevisi PKPU tersebut menjadi pembulatan ke atas.
“Sekarang saya menjadi tambah ragu, persis seperti verifikasi partai politik, tidak dibuka data itu, karena menjadi punya ruang dipelintir diubah-ubah. Ini berpotensi berbohong mereka,” kritik Hadar.
Selain Ramlan dan Hadar, kritik juga disampaikan oleh mantan komisioner KPU, Evi Novida Ginting. Menurut Evi, KPU salah menafsirkan minimal 30 persen keterwakilan dalam Undang-undang. Menurutnya, kebijakan KPU khususnya pada PKPU 10/2023 ini adalah sebuah kemunduran.
“Saya pikir kemunduran peraturan yang dibuat KPU. Ini yang tentunya menjadi sangat perhatian bagaimana kita berharap KPU bisa menyelenggarakan Pemilu yang berintegritas sementara aturan yang dibuat malah mengalami kemunduran,” ucapnya.

KPU sebelumnya menyebut akan melakukan revisi atas pasa 8 ayat (2) PKPU 10/2023 setelah mendapat kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan.
Ketua KPU, Hasyim Asyari menyebut Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 yakni pembulatan angka desimal keterwakilan perempuan yang semula memakai aturan matematika diubah dari pembulatan ke bawah menjadi ke atas.
“Akan dilakukan perubahan menjadi: Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil, menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas,” ujar Hasyim.
Namun, hal tersebut urung terjadi setelah KPU, Bawaslu, DKPp, bersama Kemendagri melakukan rapat di Komisi II DPR.
Kesimpulan rapat itu adalah Komisi II DPR meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.