
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengungkap adanya kekurangan stok gabah di sebagian besar penggilingan padi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena petani menahan sebagian hasil panen mereka, sehingga pasokan ke pasar berkurang.
Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, mengatakan salah satu alasannya adalah harga jual yang ditetapkan pemerintah terlalu murah dibanding harga di pasaran.
"Di tingkat petani saat ini di rentang harga Rp 5.600-Rp 6.000 untuk Gabah Kering Panen (GKP). Jadi kalau disebut faktor harga yang tidak cocok, ya ada benarnya karena HPP dari pemerintah sendiri Rp 5.000 di tingkat petani, masih jauh lebih rendah dari harga yang ada di lapangan," kata Mujahid kepada kumparan, Rabu (19/4).
Masalah lain yang dirasakan petani padi saat ini adalah biaya produksi yang meningkat. Dengan aturan harga yang dirasa tak menguntungkan, petani padi lebih memilih menjual gabahnya ke swasta.
"Poin pentingnya adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani juga mengalami kenaikan, sehingga petani juga memilih untuk menjual ke pihak yang lebih menguntungkan," kata dia.
Mujahid mengatakan, anggota SPI yang tersebar di berbagai wilayah rata-rata memang tidak menjual seluruh hasil panen mereka. Sebagian mereka simpan, namun proporsinya kecil.
"Karena peruntukannya untuk konsumsi pribadi, asumsi 1 keluarga petani 4-5 orang, dan untuk cadangan benih untuk tanam ke depannya. Selebihnya dijual karena butuh untuk kebutuhan sehari-hari dan juga modal tanam selanjutnya," ujarnya.

Tahun ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Badan Pangan Nomor 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Gabah dan Beras. HPP Perbadan ini menaikkan HPP 18-20 persen dibanding HPP sebelumnya berdasarkan Permendag Nomor 24 tahun 2020.
Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebelumnya Rp 4.200/kg, naik menjadi Rp 5.000/kg. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyatakan SPI keberatan dengan HPP Rp 5.000/Kg. Meski ada kenaikan, HPP itu dianggap masih di bawah harga pokok produksi petani.
“SPI mengusulkan HPP di Rp 5.600/kg, karena harga pokok produksi sebesar Rp 5.050/kg. Ini artinya dengan HPP Rp 5.000, masih di bawah biaya produksi. Petani masih merugi,” tegasnya.

