Menteri Keuangan, Sri Mulyani di DPR RI, Jumat (19/5).  Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani di DPR RI, Jumat (19/5). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan

Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengantisipasi penerapan sistem perdagangan karbon atau emission trading system (ETS) akan berimbas guncangan terhadap perekonomian.

Menurut Sri Mulyani, salah satu terobosan pemerintah untuk transformasi menuju ekonomi hijau adalah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 98 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

Dia menjelaskan, beleid tersebut penting untuk menyiapkan dua instrumen, yaitu sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatory dan offsetting, serta berbasis non perdagangan yang diperkenalkan melalui result based payment.

"Walaupun tujuannya baik untuk meningkatkan ekonomi agar konsisten dengan penurunan emisi, ini harus hati-hati karena sebuah perubahan pasti menimbulkan shock," ujar Sri Mulyani saat webinar Green Economy Forum, Selasa (6/6).

"Strategi kita bagaimana introduce perubahan itu dengan konsekuensi sosial, ekonomi, dan finansial seminimal mungkin," imbuh Menkeu.

Sri Mulyani melanjutkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari perdagangan karbon, pemerintah menerapkan kebijakan ini secara bertahap, yakni dimulai dari sektor energi melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM No 16 Tahun 2022.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan di Soehana Hall, SCBD, Selasa (9/5). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan di Soehana Hall, SCBD, Selasa (9/5). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan

Pemerintah telah menetapkan 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berpotensi ikut emission trading system (ETS) pada tahun 2023, dengan total kapasitas 33.565 MW atau 86 persen dari total PLTU di Indonesia.

"Ini kemajuan, berarti para PLTU ini paham mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan masyarakat tapi juga mengeluarkan emisi CO2 yang memperburuk perubahan iklim," tutur Sri Mulyani.

Sementara itu, lanjut Menkeu, pemerintah juga akan menetapkan pajak karbon dengan tarif yang telah diamanatkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) minimal Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen.

"Penerapan pajak juga akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati, artinya dampak positifnya diinginkan tapi dampak negatif juga diperhatikan, sehingga ekonomi Indonesia mampu berlanjut dari pertumbuhan stabilitas dan mampu bertransformasi," jelasnya.

Adapun perdagangan karbon di sektor energi masih dilakukan secara tertutup antar PLTU melalui perangkat berbasis web untuk penghitungan dan pelaporan emisi milik Kementerian ESDM, Apple Gatrik. Sementara bursa karbon masih dalam pengembangan hingga saat ini.

Gerbang Fakta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *