
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendorong semua sekolah di provinsi ini untuk memiliki Satgas Penanggulangan Kekerasan. Hal ini buntut adanya kasus 17 anak jadi korban pencabulan pria paruh baya di Sleman.
"Masing-masing satuan pendidikan kita bentuk satgas tindak lanjut dari Peraturan Menteri tersebut (Peraturan Menteri nomor 82 tahun 2018 tentang penanggulangan kekerasan pada satuan pendidikan) baik di dinas maupun di satuan pendidikan," kata Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya ditemui di Kepatihan Pemda DIY, Rabu (31/5).
Satgas Penanggulangan Kekerasan itu sudah ada di dinas dan beberapa sekolah. Bagi sekolah yang belum memiliki diminta untuk segera membentuk.
"Nah, penanggulangan itu konteksnya adalah bagaimana kita membangun keberpihakan pada siswa," ujarnya.
"Segera bentuk (di sekolah lain) untuk mengantisipasi lebih jauh supaya anak-anak kita terlindungi. Tidak hanya permasalahan kekerasan seksual, ada perundungan bagaimana kita tekan, ada intoleransi itu bagaimana upaya kita tekan supaya tidak terjadi," tegaskan.
Sekolah Boleh Razia Murid
Didik mengatakan sekolah diperbolehkan merazia barang bawaan milik murid. Dasarnya adalah Perda DIY nomor 2 tahun 2017 tentang Ketertiban Umum. Di dalam aturan itu ada soal ketertiban pendidikan.
"Tetapi etika merazia itu misalnya disuruh mengeluarkan barang-barang yang dibawa sendiri. Tetap cara humanis bukan semena-mena," tegasnya.
Sekolah Tak Boleh DO Siswa Korban Kekerasan Seksual
Di sisi lain, Disdikpora DIY menegaskan sekolah tak boleh mengeluarkan atau drop out (DO) murid korban kekerasan seksual. Jangan sampai mereka dua kali menjadi korban.
"Jangan sampai jadi korban kedua kali itu tetap harus kita jaga, kita lindungi. Jangan sampai sekolah sampai mengeluarkan, nggak boleh. Nggak boleh dikeluarkan," tegasnya.
Bahkan jika murid butuh perlindungan khusus maupun pendampingan karena trauma, sekolah harus menyediakan. "Bentuk layanannya kita modifikasi apakah pendampingan dengan pihak-pihak lain kita lakukan," tegasnya.
Diketahui, 17 anak yang jadi korban pencabulan itu berusia antara 13-17 tahun. Mereka mayoritas duduk di bangku SMP hingga SMA.
Kasus ini terungkap setelah guru merazia ponsel murid di salah satu sekolah di Sleman. Di sana didapati ponsel siswi yang berisi grup yang tengah membahas foto telanjang.
Kasus kemudian dilaporkan ke polisi. Anak-anak ini ternyata dirayu pelaku dengan iming-iming uang Rp 300 hingga Rp 700 ribu.