
Buku Suba Institute yang berfokus pada riset, mulai diresmikan pada 9 Januari 2018 di Kota Ternate, Maluku Utara.
Awalnya, lembaga yang beralamat Jalan Cakalang RT 001 RW 003 Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate Utara, ini adalah sebuah komunitas.
"Tapi seiring perkembangan zaman, kami lihat Ternate dalam aspek budaya masih minim data," ucap Sukarno M. Adam, Direktur Buku Suba Institute, dalam pembobotan hasil riset bertemakan 'tukar tambah gagasan' di IAIN Ternate, Sabtu (11/3).
Ia mencontohkan nama Sonyie Lamo. Hampir sebagian orang hanya mengenal dengan sebutan Lapangan Salero.
Padahal, letaknya tepat di depan Kedaton Kesultanan Ternate dan menyimpan jejak historis. "Ini yang bikin kami gelisah," ucapnya.
Apalagi, branding Ternate adalah kota rempah. "Sehingga kami berinisiatif mengembangkan Buku Suba Institute dari komunitas menjadi lembaga riset," ujarnya.
Sukarno mengungkapkan, hampir semua anggota yang berkecimpung di dalam Buku Suba Institute berlatar belakang akademisi.
Dari sini, Buku Suba Institute mulai berjejaring dengan Pemerintah Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan.
Ke depan, kata Sukarno, Buku Suba Institute akan masuk kabupaten lainnya. "Kemarin di Tidore kami riset soal demografi," tambahnya.
Untuk jejaring nasional belum ada. Tapi lewat Komite Pemantau Otonomi Daerah, Buku Suba Institute tengah menggali budaya yang ada pada masyarakat desa.